79 Tahun Indonesia Merdeka, Begini Nasib Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam di Tebo Jambi

0
Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam kelompok Temenggung Apung di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

NEWSPORTAL.ID - Meskipun Republik Indonesia telah merayakan kemerdekaannya yang ke-79 pada 17 Agustus 2024, kebebasan dan kemerdekaan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh Suku Anak Dalam, khususnya Kelompok Temenggung Apung yang tinggal di pedalaman Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. 



Suku pedalaman yang berdomisili di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo ini, masih harus terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai masyarakat adat sekaligus sebagai warga negara Indonesia.



Meskipun Suku Anak Dalam ini telah memahami arti kemerdekaan, realitas kehidupan mereka menunjukkan bahwa hak-hak mereka, terutama hak atas wilayah, terus terancam oleh berbagai kepentingan eksternal. 



Mereka mengklaim bahwa wilayah adat mereka telah dirampas oleh perusahaan perkebunan dan tambang yang beroperasi di daerah tersebut, sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan.



Seorang pendamping Suku Anak Dalam di Jambi dan Ketua Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK), Ahmad Firdaus mengungkapkan kekecewaannya terhadap situasi ini. 



"Indonesia sudah 79 tahun merdeka, tapi Suku Anak Dalam belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan," ujar Firdaus pada Senin, 19 Agustus 2024. 



Pernyataan ini menggambarkan betapa hak-hak dasar Suku Anak Dalam masih belum terwujud secara optimal, meski negara ini telah lama merdeka.



Menurut Firdaus, kehadiran perusahaan tambang dan perkebunan terus menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup dan wilayah adat Suku Anak Dalam di Kabupaten Tebo, khususnya Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo.



Persoalan-persoalan yang dihadapi suku pedalaman ini, terutama yang berkaitan dengan pengambilalihan tanah oleh perusahaan, sering kali tidak terselesaikan dengan baik. 



Seperti konflik yang melibatkan PT Batanghari Energi Prima (BEP), yang berencana melakukan penambangan batubara di wilayah tersebut, merupakan salah satu contoh nyata dari ancaman ini.



Perusahaan tambang batubara tersebut tidak pernah melibatkan Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung dalam menyusun rencana kegiatan. Padahal, seluruh wilayah suku pedalaman tersebut masuk kedalam izin rencana tambang yang telah diterbitkan oleh pemerintah.



Selain PT BEP, perusahaan perkebunan seperti PT WKS dan PT SKU juga dianggap kurang memberikan perhatian terhadap keberadaan Suku Anak Dalam di area izin mereka. 



Minimnya perhatian ini memperburuk kondisi kehidupan masyarakat adat tersebut, yang sudah rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi dan marginalisasi.



Menurut Firdaus, konflik antara Suku Anak Dalam dengan perusahaan-perusahaan itu mencerminkan ketidakadilan yang masih mereka alami meski negara telah merdeka selama hampir delapan dekade. 



Hak atas tanah dan wilayah, yang merupakan aspek fundamental dari identitas dan keberlanjutan adat dan budaya Suku Anak Dalam, terus dirampas tanpa adanya penyelesaian yang memadai dari pihak terkait.



Firdaus pun menegaskan bahwa perjuangan Suku Anak Dalam untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka adalah bagian dari upaya mereka untuk merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. 



“Kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat hukum adat Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung,” tegas dia.



Oleh karena itu, Firdaus berharap adanya dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarakat luas, untuk memastikan bahwa Suku Anak Dalam dapat menikmati kemerdekaan yang sejati, di mana hak-hak mereka dihormati dan dilindungi sebagaimana mestinya.



Konflik Wilayah Dengan PT Batanghari Energi Prima (BEP) 



Ketua Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK), Ahmad Firdaus mengungkapkan bahwa baru-baru ini PT Batanghari Energi Prima (BEP) telah menggelar kegiatan Konsultasi Publik Rencana Induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (RIPPM), tepatnya pada bulan Maret 2024 lalu. 



Dia mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut diduga tidak melibatkan masyarakat hukum adat, khususnya Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok Temenggung Apung di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.



Selain itu, perusahaan tambang batubara yang akan beroperasi di Desa Muara Kilis itu, juga diduga tidak melibatkan LSM atau lembaga sosial yang beraktivitas di wilayah tersebut.



Hal ini sangat disayangkan oleh pendamping Suku Anak Dalam tersebut. Alasannya, PT BEP dianggap tidak menghargai hak-hak dasar masyarakat hukum adat. 



Dikatakan Firdaus, tahun 2021 lalu, telah dilakukan rapat finalisasi dokumem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PT BEP di ruang rapat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jambi. 



Anehnya ujar dia, pada rapat finalisasi dokumen AMDAL tersebut, PT BEP juga tidak mengundang MHA SAD Kelompok Temenggung Apung sebagai masyarakat adat yang seluruh wilayah masuk kedalam izin tambang perusahaan tersebut.



"Tolong PT BEP serius dalam menyusun AMDAL. Jangan terkesan asal-asalan. Tolong hargai MHA Suku Anak Dalam," tegas dia. 



Dijelaskannya, di Desa Muara Kilis Kacamatan Tengah Ilir Kabupaten Tebo terdapat MHA SAD Kelompok Temenggung Apung dan kelompok Temenggung Tupang Besak. MHA SAD ini diperkirakan sudah ratusan tahun berdomisili di wilayah desa Muara Kilis. Menurut dia, jika perusahaan tambang batubara itu tetap beroperasi, bakal menimbulkan konflik yang berkepanjangan.



Diakui dia jika kawasan MHA SAD dua kelompok temenggung tersebut belum masuk data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) karena belum dilakukan pemetaan partisipatif. 



Namun secara sejarah mereka sudah ratusan tahun berada di wilayah itu, dan hal ini diakui oleh masyarakat desa Muara Kilis dan masyarakat desa sekitar. 



Ini juga diperkuat dengan Surat Keputusan Kepala Desa Muara Kilis Nomor : 05 Tahun 2021, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung.



“Ini juga diperkuat dengan Keputusan Bupati Tebo Nomor 330 Tahun 2021 yang ditandatangani Bupati Tebo, Sukandar, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung,” tegasnya.



Untuk itu, Firdaus bakal meminta Kementerian ESDM untuk mengkaji kembali izin PT BEP dan meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jambi dan KLHK untuk berhati-hati dalam menerbitkan dokumen lingkungan perusahaan tersebut, mengingat masalah serupa pernah terjadi pada tahun 2021.



“Kita juga meminta kepada Kejagung agar memeriksa PT BEP terkait proses izin yang mereka kantongi,” tegas dia.



Informasi yang dirangkum PortalTebo.id, PT Batanghari Energi Prima (BEP) bakal melaksanakan kegiatan pertambangan batubara seluas 4.380 Ha. Wilayah kegiatan di Desa Sungai Keruh, Kecamatan Tebo Tengah dan Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. 



Pada Desember 2020 kemarin, telah dilakukan rapat teknis dan rapat komisi dokumen Amdal PT Batanghari Energi Prima. Hasilnya, dokumen Amdal tersebut secara prinsip dapat diterima bersyarat dan banyak catatan.



Anehnya, pada Desember 2020, Pemkab Tebo telah menerbitkan Keputusan Bupati Tebo Nomor: 563 Tahun 2020 tentang Kekayaan Lingkungan Hidup rencana kegiatan pertambangan batubara seluas 4.380 Ha PT BEP di Desa Sungai Keruh Kecamatan Tebo Tengah dan Desa Muara Kilis Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.



Konflik Dengan PT SKU



Baru-baru ini, salah seorang warga Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung bernama Deraw mendapatkan penganiayaan yang diduga dilakukan oleh scurity dan mandor PT SKU di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.



Meski persoalan ini telah menemukan solusi usai dilakukan pertemuan antara perwakilan SAD kelompok Temenggung Apung dengan pihak PT SKU, di Rumah Makan Mato Air, Km.06 Jalan Lintas Tebo Bungo, Kecamatan Tebo Tengah, Kabupaten Tebo, Jambi, pada Kamis, 25 Juli 2024, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda dari PT SKU untuk menyelesaikan masalah tersebut.



Dari hasil pertemuan tersebut, Temenggung Apung menuntut sanksi adat terhadap oknum security PT SKU yang telah melakukan pemukulan terhadap warganya, yakni denda adat sebanyak 800 lembar kain yang harus diserahkan pihak PT SKU kepada SAD Kelompok Temenggung Apung.



Dalam pertemuan tersebut juga disepakati paling lambat satu bulan kedepan terhitung mulai hari ini, Kamis, 25 Juli 2024, sanksi atau denda adat tersebut dipenuhi oleh PT SKU.



Namun, hingga saat ini sanksi adat yang telah disepakati bersama tersebut tak kunjung dipenuhi oleh pihak PT SKU. “Tinggal 6 hari lagi. Tapi belum juga ada tanda-tanda PT SKU menyelesaikan sanksi adat yang telah disepakati kemarin,” kata Firdaus, pendamping Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung.



Menurut dia, PT SKU meski komitmen terhadap kesepakatan pada pertemuan itu. “Jangan sampai ini menimbulkan permasalahan baru gara-gara kesepakatan tidak dipenuhi. Tolong PT SKU komitmen dengan apa yang telah disepakati bersama,” kata dia.



Sebelumnya, salah seorang warga SAD Kelompok Temenggung Apung yang diketahui bernama Deraw diduga menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh oknum security dan mandor PT SKU.



Suku pedalaman ini dituduh mencuri berondolan sawit di areal perkebunan PT SKU. Atas penganiayaan tersebut, Deraw terpaksa dirawat di RSUD Tebo selama dua hari karena mengalami luka pada bagian kepala.



Atas dugaan penganiayaan ini, istri Deraw bernama Siti melaporkan hal tersebut ke Polres Tebo.



Konflik Lahan Dengan PT WKS dan Koperasi SAL



Tidak hanya dengan PT BEP dan PT SKU, masyarakat hukum adat (MHA) Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung di Desa Muara Kilis Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi juga berkonflik dengan PT WKS dan Koperasi Sepenat Alam Lestari (SAL). 



Dimana, lahan yang diklaim MHA Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung seluas 155 hektar yang berada di area izin Koperasi SAL yang merupakan pelepasan dari PT WKS, namun objek lahan tersebut hanya hanya sekitar 30 hektar. 



Persoalan ini pernah dilakukan beberapa kali mediasi yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi, namun hingga saat ini belum juga ada solusi atas konflik lahan tersebut.



Pada pertemuan pertama, disepakati bahwa mediasi akan dilanjutkan, dengan catatan bahwa semua pihak yang berkonflik harus membawa seluruh dokumen terkait sengketa lahan tersebut untuk dicarikan solusi. Namun, dalam pertemuan kedua ini, baik pihak Koperasi SAL maupun PT WKS tidak dapat menghadirkan dokumen yang relevan dengan lahan 115 hektar yang menjadi pokok masalah.



Ketidakmampuan untuk menampilkan dokumen tersebut menghambat upaya untuk mencapai kesepakatan.



Demikian pula, Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam, yang diwakili oleh Temenggung Apung, juga tidak dapat menunjukkan dokumen perundingan yang pernah mereka lakukan sebelumnya. 



Temenggung Apung mengungkapkan bahwa selama ini, dirinya tidak pernah menerima hasil perundingan atau berita acara terkait pelepasan lahan tersebut. 



Menurutnya, baik pihak Koperasi SAL maupun PT WKS seharusnya menyimpan dokumen-dokumen penting tersebut sebagai bukti perundingan yang pernah dilakukan.



Dalam mediasi, Temenggung Apung menekankan bahwa masyarakat adat seperti mereka, yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis, sangat bergantung pada janji lisan. 



"Kalau kami ini orang bodoh, yang dak tau tulis baco, yang kami pegang adalah cakap (ucapan)," ujarnya. 



Temenggung Apung juga menegaskan, jika dalam pertemuan itu tidak ditemukan solusi yang memuaskan,



Namun, pada pertemuan kedua pun gagal menemukan jalan keluar. Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Muara Kilis, Rahman, menyarankan agar masalah ini dibawa ke tingkat Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Tebo. 



Menurutnya, Pemda Kabupaten Tebo dapat memainkan peran yang lebih besar dalam menyelesaikan sengketa ini, termasuk memanggil pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Tebo Timur, yang belum pernah hadir dalam dua pertemuan sebelumnya.



Rahman menyatakan bahwa pihaknya akan menyurati Penjabat (Pj) Bupati Tebo untuk meminta solusi terkait permasalahan ini. 



Ia berharap bahwa dengan intervensi Pemda, semua pihak yang berkepentingan, termasuk KPHP Tebo Timur, dapat duduk bersama dan mencari jalan keluar yang terbaik bagi semua pihak yang terlibat.



“Sampai sekarang pun tidak ada solusi. Pemerintah Daerah Kabupaten Tebo pun terkesan cuek dengan persoalan ini. Jadi wajar kalau saya bilang kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya dirasakan oleh MHA Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung,” tegasnya.



Sementara itu, masyarakat hukum adat Suku Anak Dalam kelompok Temenggung Apung tetap berharap bahwa hak-hak mereka atas tanah dan wilayah yang telah mereka diami selama ratusa tahun dapat diakui dan dilindungi. 



Konflik ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga soal pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang merdeka.



Perjuangan Suku Anak Dalam dalam menghadapi perusahaan besar seperti PT BEP, PT SKU, PT WKS dan Koperasi SAL merupakan cerminan dari tantangan yang dihadapi oleh banyak masyarakat adat di Indonesia. 



Meski negara ini telah merdeka selama 79 tahun, masih banyak kelompok masyarakat yang harus terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka. 



“Semoga permasalahan yang dihadapi MHA Suku Anak Dalam Kelompok Temenggung Apung ini menemukan solusi terbaik, sehingga semua pihak dapat hidup berdampingan dengan damai dan sejahtera,” pungkasnya.***


Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top