Oleh : Maretika Handrayani, S.P.
Pada 1 Mei 2023, adalah hari yang diperingati sebagai hari buruh sedunia. Beragam tuntutan para buruh setiap tahunnya menandai kesejahteraan buruh yang tak kunjung merata.
Setidaknya ada tujuh tuntutan para buruh di Indonesia tahun 2023 ini, yakni:
1. Pencabutan Omnibus Law UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
2. pencabutan syarat Parliamentary threshold 4% dan Presidential threshold 20% karena dinilai membahayakan demokrasi.
3. Mendesak pengesahaan Rancangan Undang-Undang (RUU) DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga.
4. Menolak RUU Kesehatan; Reformasi Agraria; dan Kedaulatan Pangan.
5. Menolak Bank Tanah, impor beras kedelai dan lain-lain.
6. Pilih capres yang proburuh dan kelas pekerja.
7. Menghapus outsourcing dan tolak upah murah (HOSTUM).
Bila menelaah problem perburuhan hari ini, sesungguhnya kesalahan mendasar persoalan buruh ada pada kesalahan paradigma sistem ekonomi kapitalis dalam menetapkan standar upah minimun, sehingga buruh tidak mendapatkan upahnya yang sebenarnya.
Sementara di sisi lain kebutuhan hidup semakin tinggi dan tak terjangkau. Disisi lain mekanisme pasar bebas yang menjadikan para kapitalis sebagai pengendali faktor dan proses produksi-konsumsi distribusi telah menjadikan tenaga kerja sebagai faktor produksi yang harus ditekan seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Ekonomi kapitalis yang menjadi landasan pengaturan ekonomi telah menjadikan kehidupan ekonomi menjadi tidak sehat, realita di lapangan perusahaan besar bebas “memakan” perusahan kecil atau melakukan merger sehingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sangat tinggi, beban kerja yang besar tak sepadan dengan pemberian gaji.
Regulasi ketenagakerjaan di tanah air justru sering berpihak pada korporasi. Menelaah realita tuntutan para buruh masih tak jauh dari penolakan kebijakan pemerintah yang kental nuansa pro asing dan kapitalis namun sangat merugikan masyarakat dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang eksploitatif seperti UU Ciptaker Omnibus Law semakin memberikan karpet merah bagi korporasi untuk mengeksploitasi tenaga, waktu dan hak-hak buruh lainnya.
Sehingga para buruh seolah tidak memiliki bargaining position yang baik dihadapan korporasi. Dengan dalih menyuburkan iklim investasi, beragam regulasi dibuat untuk kepentingan korporasi namun meminggirkan hak tenaga kerja.
Persoalan tersebut menunjukkan betapa buruknya tata kelola sistem perburuhan demokrasi kapitalistik yang menyebabkan para buruh sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
Berbeda dengan tata kelola ketenagakerjaan dalam Islam yang terbukti memberikan kesejahteraan dan keadilan. Khilafah islam hadir untuk mengurusi dan melindungi kepentingan semua anggota masyarakat, baik pengusaha maupun pekerja atau buruh. Nabi saw. bersabda,
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari).
Negara tidak boleh melahirkan kebijakan zalim yang menyengsarakan rakyat. dalam hal penetapan tolok ukur gaji buruh, Islam menetapkan gaji buruh berdasarkan manfaat jasa yang dikeluarkan seorang buruh terhadap pekerjaannya, bukan berdasarkan biaya hidup terendah.
Dari penetapan upah yang benar tersebut maka tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Begitu pula pegawai negeri, mereka juga mendapat upah sesuai dengan ketetentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika terjadi perselisihan penetapan upah antara buruh dan majikan, maka penentuan upah akan ditentukan oleh pakar yang dipilih kedua belah pihak. Dan jika tidak ada kesepakatan diantara kedua belah pihak maka negara yang akan memilihkan pakar untuk menetapkan gaji, dan kedua belah pihak wajib menaatinya. Khilafah menertibkan kezaliman dan menghilangkan penindasan pada rakyatnya.
Islam memandang bahwa kesejahteraan hidup diukur individu per individu bukan perkapita dalam hitungan angka layaknya sistem demokrasi kapitalis. Maka Islam menetapkan penguasa sebagai penanggung jawab atas urusan hajat hidup rakyat.
Hajat hidup publik seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan fasilitas umum lainnya wajib dijamin terpenuhinya oleh negara, bukan dibebankan kepada rakyat ataupun pengusaha seperti dalam tatanan publik hari ini. negara mengatur keseimbangan pasar sehingga harga pangan termasuk sembako tidak mencekik leher rakyat, temasuk kebutuhan energi (Listrik, gas, bahan bakar) diatur pengelolaanya oleh negara sehingga tidak dikomersialisasi korporasi dan membebani ekonomi rakyat.
Sehingga dengan income kepala keluarga dapat memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papannya dan tidak terjadi kemiskinan massal.
Di satu sisi Negara menjamin tersedianya lapangan pekerjaan yang layak bagi warga negara, sehingga pengangguran tidak lagi menjadi problematik sistemik seperti saat ini.
Kebijakan tata kelola ketenaga kerjaan yang sesuai syariat Islam inilah yang akan menuntaskan persoalan perburuhan. Yang akan berbuah manis berupa kesejahteraan dan keberkahan hidup.
Wallahu a’lam bishawab. ***