Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak. (Ist). |
NEWSPORTAL.id — Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak menilai langkah hukum kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam kasus pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya sangat layak dan wajar.
Sebab, putusan yang dijatuhkan belum mempertimbangkan perspektif kerugian keuangan dan perekonomian negara serta kesulitan masyarakat luas akibat kelangkaan minyak goreng.
Pada 7 Maret lalu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membacakan putusan banding empat terdakwa, yakni Indra Sari Wisnu Wardhana, Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati, Master Parulian Tumanggor, serta Pierre Togar Sitanggang, dalam kasus izin ekspor minyak sawit mentah tersebut.
Dalam amar putusannya, pengadilan banding menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Pengadilan banding juga tidak mengubah vonis bagi para terdakwa.
Di pengadilan tingkat pertama, Indra Sari divonis 3 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni 7 tahun penjara.
Terdakwa Lin Che Wei divonis 1 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni 8 tahun penjara.
Sementara, terdakwa Master Parulian Tumanggor divonis penjara selama 1 tahun 6 bulan, di bawah tuntutan jaksa sebesar 11 tahun penjara.
Adapun terdakwa Pierre Togar Sitanggang dihukum 1 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni 12 tahun penjara.
Menurut Barita, putusan di pengadilan tingkat pertama maupun banding memutus bahwa kasus korupsi itu terbukti.
Namun, pengadilan tidak mempertimbangkan bahwa kasus tersebut telah merugikan, tidak hanya keuangan, tetapi juga perekonomian negara dan masyarakat luas.
”Menurut kami, sangat layak dan wajar jika jaksa mengajukan kasasi, yakni untuk memenuhi aspek keadilan. Hakim di tingkat kasasi mestinya dapat melihat bahwa kasus ini tindak pidananya terbukti, tapi tidak maksimal dalam putusannya,” kata Barita, Kamis 9 Maret 2023.
Menurut Barita, langkah hukum kasasi perlu dilakukan sebagai cerminan rasa keadilan masyarakat yang diwakili jaksa.
Sementara, kasus korupsi tersebut juga berdampak pada kerugian keuangan negara dan perekonomian negara karena pemerintah harus mengucurkan bantuan langsung tunai hingga triliunan.
Di sisi lain, jika kasus korupsi hanya dipidana ringan, dikhawatirkan hal itu tidak akan memberikan efek jera dan akan terulang di masa mendatang. Padahal, kejahatan tersebut merugikan masyarakat luas.
”Tanpa penegakan hukum yang tegas, dikhawatirkan korporasi lain akan main-main lagi dengan regulasi atau tata niaga,” ujar Barita.
Langkah kasasi tersebut, lanjut Barita, merupakan upaya untuk mendapatkan keadilan yang lebih substantif. Jika nantinya majelis hakim kasasi mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa, putusan tersebut akan menjadi tonggak lahirnya putusan lain tentang aspek keadilan masyarakat yang mampu mengatasi kejahatan korporasi.
”Jika kasasi ini diakomodasi, ini akan menjadi preseden ke depan. Begitulah pembentukan hukum kita, salah satunya melalui putusan suatu kasus sebagai yurisprudensi,” kata Barita.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpandangan, perbedaan antara tuntutan jaksa dan putusan yang dijatuhkan hakim memperlihatkan adanya perbedaan dalam menangkap rasa keadilan di masyarakat.
Padahal, biasanya, jika hakim menjatuhkan putusan yang meringankan, hal itu tidak akan terlalu jauh dari tuntutan jaksa.
”Tapi ini, kan, sangat jauh. Dan ini memang patut dipertanyakan. Menurut saya, jaksa harus banding supaya tercipta rasa keadilan,” kata Fickar.
Di sisi lain, lanjut Fickar, kasus korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Maka, vonis yang terlalu ringan akan menjadi preseden negatif dan tidak mencerminkan rasa keadilan publik.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, jika harus mengambil langkah hukum kasasi, putusan banding harus dipelajari secara lengkap.
Sebab, alasan untuk melakukan upaya hukum kasasi dan banding berbeda sebagaimana diatur dalam Pasal 248 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). (***)