Oleh: Siti Rusfriani Verina, S.Pd
Setiap anak tentunya diharapkan oleh orang tua menjadi anak yang Sholeh dan Sholehah. Memiliki perilaku baik dan pemikiran yang baik sesuai dengan aturan agama.
Untuk terwujudnya hal ini, tidak akan bisa tanpa adanya peran orang tua. Orang tua yang berkewajiban untuk mengasuh, menjaga dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan mengharapkan ridho Allah.
Namun, faktanya hari ini masih banyak anak yang tidak mendapatkan pola asuh yang layak, “Berdasarkan data Susenas 2020, masih terdapat 3,73 persen balita yang pernah mendapatkan pola pengasuhan tidak layak. Selain itu, ada 15 provinsi dari 24 provinsi yang memiliki pola pengasuhan di bawah rata-rata Indonesia.
Padahal, pengasuhan anak merupakan salah satu agenda nasional untuk memberikan yang terbaik bagi anak. Hal ini mengakibatkan berbagai dampak negatif bagi perkembangan anak karena pemenuhan hak-hak anak tidak terpenuhi dengan baik, seperti hak kesehatan dan hak perlindungan.
Melihat kondisi ini, KemenPPPA telah melaksanakan kegiatan Sosialisasi Kamping Anak Sejahtera dalam Pencegahan Stunting dan Fasilitasi Keluarga 2P (Pelopor dan Pelapor) Pengasuhan Keluarga untuk Penurunan Stunting dan Pencegahan Perkawinan Anak di Desa Wadas, Kabupaten Temanggung, Maret lalu.
Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan pemahaman mengenai pengasuhan berbasis hak anak, gizi, serta kesehatan Ibu dan anak. Selain itu, kegiatan ini juga merupakan upaya percepatan penurunan stunting di Desa Wadas, Kabupaten Temanggung.
Meskipun pemerintah sudah melaksanakan kegiatan sosialisasi untuk memberikan pemahaman mengenai pengasuhan berbasis hak anak, gizi, serta kesehatan ibu dan anak.
Namun, masih ada kasus yang dilakukan seorang anak pejabat kementerian keuangan bagian pajak. Anak pejabat ini sebagai pelaku penganiayaan kepada seorang laki-laki anak ketua Gerakan Anshor.
Pelaku menginjak kepala dan memukuli perut korban hingga meninggal dunia. Benar-benar Perbuatan sangat keji dan melanggar aturan agama. Karena perilaku penganiayaan tersebut jabatan bapak pelaku sebagai pejabat pajak di copot oleh menteri keuangan.
Perbuatan ini sudah diproses oleh polisi dan pelaku diberikan hukuman di penjara. Sangat di sayangkan jabatan bapaknya di copot gara-gara perilaku buruk anaknya. Wajar saja hal demikian terjadi, orang tua pelaku memberikan fasilitas kendaraan mobil mewah dan motor kepada anaknya hingga anaknya memiki gaya hidup hedonis.
Orang tua yang memiliki pola asuh yang baik untuk anaknya tanpa perhatian dan pengontrolan yang sesuai dengan aturan Islam.
Orang tua yang sibuk dengan urusan pekerjaan hingga melupakan pengurusan anaknya. Waktu habis untuk diluar rumah untuk bekerja sebagai pejabat pajak, ketika dirumah kurang dalam mendidik dan memperhatikan kondisi anaknya.
Kesalahan pola asuh dalam keluargalah menjadi penyebab anak memiliki perilaku yang buruk. Orang tua tidak memiki kesiapan dalam berperan sebagai orang tua.
Orang tua tidak memiliki ilmu agama dalam mendidik anaknya hingga tidak mendidik anak menjadi anak yang Sholeh. Seharusnya ini ada dalam bagian kurikulum pendidikan dalam semua jenjang pendidikan. Namun saat ini tidak ada dalam Sistem pendidikan Indonesia.
Dalam pembinaan kepribadian individu tentunya sangat penting pendidikan agama. Kesadaran akan pentingnya ilmu menjadi orang tua malah menjadi salah satu peluang bisnis dalam sistem kapitalisme, demokrasi saat ini.
Berasaskan manfaat dalam tujuan perbuatan. Individu yang tidak bertaqwa dan memiliki ilmu agama tidak akan bisa mendidik anaknya menjadi generasi berkepribadian Islam.
Orang tua menanamkan pemikiran sekuler atau memisahkan agama dalam kehidupan kepada diri anak. Hidup dengan serba kemewahan membuat anak lupa akan beribadah kepada Allah hingga tidak memiliki ke keimanan dan ketakwaan kepadaNya.
Hingga sampai berbuat tindakan keji penganiayaan tanpa memikirkan akibat dalam perbuatan. Pelaku tidak mengontrol naluri baqo' atau naluri untuk mempertahankan diri dari kemarahan dan emosi sesuai dengan aturan Islam.
Wajar saja terjadi tindak penganiayaan tersebut karena tidak mengontrol emosi yang terpancing dengan kesabaran. Sangat penting kepribadian Islam pada diri orang tua dan anak yang memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam.
Tentunya tidak akan bisa terwujud tanpa adanya penerapan dari negara untuk pendidikan Islam. Faktanya Negara kurang dalam memfasilitasi pendidikan agama jenjang pendidikan. Kurikulum yang tidak berlandaskan tsaqofah Islam, hingga tidak menghasilkan generasi bertaqwa.
Sistem Kapitalisme Demokrasi yang diterapkan di Negeri ini, memiliki asas Sekuler yaitu memisahkan aturan agama dalam kehidupan dan kemisahkan aturan agama dalam Negara. Hukum manusia yang ditetapkan dari undang-undang, bukan hukum yang berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Bahkan hukum dibuat sesuai dengan kepentingan penguasa dan para korporasi. Yang mendapat hukuman tidak menimbulkan efek jera, seperti hukuman dipenjara.
Wajar saja terjadi tindak penganiayaan. Karena tidak menerapkan hukum Islam dari sang Penciptanya manusia. Allah menciptakan manusia itu lengkap dengan aturannya mulai dari bangun tidur sampai bangun Negara.
Rahmat bagi seluruh alam, baik muslim maupun non muslim. Sistem sekuler demokrasi inilah yang menyebabkan tindak kekerasan fisik. Bahkan masih banyak lagi permasalahan umat yang terjadi dimana-mana akibat diterapkannya Sistem ini.
Sistem Islam dalam kurun waktu yang tidak sampai satu generasi telah menjadi produsen generasi emas yang kemudian berjaya berabad-abad. Pertanyaannya, bagaimana cara orang tua di masa itu mempersiapkan generasi-generasi cemerlang?
Lalu kalau kita refleksikan, seberapa besar peran orang tua di masa kini bisa memberikan suri teladan bagi anak-anaknya baik secara akhlak, moral, minat hingga kecondongan anak-anak untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki? Bagaimana Islam memberikan peranan serta arahan bagi para keluarga khususnya di bidang sains mengingat saat ini banyak event-event internasional di bidang sains yang dimenangi oleh tim dari Indonesia, namun ironisnya, hampir sebagian besar, didominasi oleh kalangan non-Muslim.
Di semua peradaban yang masih sederhana, keluarga selalu jadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Maka kualitas orang tua sangat berpengaruh pada kualitas anak-anak tersebut.
Mereka yang hidup dengan berburu, pasti mengajari anak-anaknya bagaimana hidup di hutan, mencari hewan buruan, menjebak atau menjinakkannya. Mereka yang hidup dengan bertani, pasti mengajari anak-anaknya bagaimana bercocok tanam, menemukan tanah yang sesuai tanamannya, kapan saat yang tepat untuk memupuk, menyingkirkan gulma hingga memanen. Dan mereka yang hidup dengan berdagang, pasti sejak dini mengajak anak-anaknya mengenal bisnis.
Pendidikan seperti itu tetap diteruskan di zaman Nabi. Namun Nabi menambahkannya dengan dua hal:
Pertama, menambahkan bahwa manusia diberi peran lebih oleh Allah, yaitu untuk beribadah dan untuk menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Ini suatu misi manusia di dunia yang tidak begitu saja muncul secara naluriah, dan harus diajarkan. Maka generasi sahabat mulai menanamkan kesadaran misi Islam itu pada anak-anaknya.
Kedua, menanamkan bahwa umat Islam harus menjadi umat terbaik di tengah manusia. Maka mereka harus menjadi manusia-manusia pembelajar.
Maka Rasul juga membuka dunia belajar seluas-luasnya, meminta tawanan Perang Badar mengajar anak-anak Muslim tulis-baca, menyuruh beberapa sahabat belajar bahasa asing, bahkan mengirimkannya ke Barat dan ke Timur, hingga sampai ke Cina.
Orang-orang tua pada masa itu berusaha keras mengikuti pendidikan cara Nabi tersebut. Mereka yang menyadari dirinya memiliki keterbatasan, menitipkan anak-anaknya ke para sahabat yang terdekat dengan Nabi, atau bahkan ke Nabi sendiri, seperti misalnya terjadi pada Anas bin Malik yang dititipkan orang tuanya agar mengabdi pada Nabi, sekaligus belajar banyak hal tentang kehidupan.
Hal ini berlanjut terus di masa khilafah selanjutnya. Orang-orang tua yang sangat peduli pendidikan, membawa anaknya untuk nyantri di kalangan para ulama dan ilmuwan. Ada yang diserahkan Imam Malik, dan akhirnya juga menjadi imam seperti Imam Syafi’i. Dan ada yang menjadi santri dari astronom Yahya bin Abi Mansur, seperti tiga anak yatim dari Musa bin Syakir. Tiga anak yatim yang dikenal dengan Banu Musa ini kemudian menjadi ilmuwan-ilmuwan hebat di bidang astronomi, matematika dan mekanika.
Oleh orang tuanya, anak-anak cemerlang itu dibiasakan sejak kecil hidup dalam suasana shalih, jujur, selalu memilih yang halal, juga gemar bekerja keras dan menghargai ilmu. Syafi’i kecil atau Ibnu Sina, dan ribuan ulama dan ilmuwan lainnya, sudah hafal Alquran sebelum usia 10 tahun.
Didikan orang tua itu menambah efektif suasana lingkungan yang dibentuk oleh Negara Khilafah. Negara bertanggung jawab agar “noise” atau gangguan yang muncul di luar rumah ada di titik minimum.
Tidak ada perzinaan atau pornografi, tidak ada miras dan narkoba, juga tidak ada aktivitas-aktivitas sia-sia lainnya. Lingkungan yang ada adalah suasana ilmu, kerja keras, dakwah dan jihad.
Di rumah tentu saja orang tua menghadapi tantangan bahwa mereka harus jadi contoh yang baik, terutama masalah integritas. Umar bin Khattab pernah tersentuh ketika mendengar seorang anak gadis yang tidak mau mengikuti perintah ibunya untuk mencampur susu dengan air. Ibunya, sang penjual susu mengatakan, toh Khalifah tidak tahu.
Tetapi anaknya membantah, sekalipun Khalifah tidak tahu, tetapi Allah tahu. Umar segera menyuruh Ashim putranya melamar anak gadis itu. Atsar ini menunjukkan, bahwa sekalipun orang tua kadang tergoda untuk bermaksiat, tetapi suasana umum yang shalih pada waktu itu, bisa membuat seorang anak tetap shalih.
Beginilah Islam sangat memperhatikan pendidikan hingga mempersiapkan orang orang tua menjadi pendidik generasi cemerlang. Semua akan terwujud dengan kembali sistem Islam dalam kehidupan. Kita berkewajiban untuk memperjuangkannya.
Wallahu a'lam bishawab